Beranda | Artikel
Mengikuti Jalan-Jalan Setan, Melemahkan Iman
Selasa, 14 Oktober 2014

Segala puji bagi Rabb kami yang telah menciptakan malam dan siang lalu mengatur kehidupan di dua dimensi waktu tersebut. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Asyraf al-Anbiya wal Mursalin, Muhammad ibn ‘Abdillah. Sungguh, segala sesuatu yang mengantar umatnya menuju surga, telah beliau paparkan dengan detail. Begitu pula hal-hal yang mewasilah ke neraka telah beliau sebutkan dan peringatkan umatnya untuk menjauh.

Kami, umat Islam, wajib untuk mempelajari agama kami agar ‘ubudiyyah kami berkualitas dan bertambah teguh keistiqamahan kami dalam mengarungi bahtera kehidupan yang sifatnya hanya sementara. Dengan menelaah nash-nash al-Qur’an kemudian mempelajari pemaparannya dalam kitab tafsir yang disusun para ulama, seolah-olah kami merasa di hadapan cermin melihat banyak kekurangan. Selalu didapati masih banyak hal yang mesti dipahami dan diamalkan guna memperbaharui iman yang makin terasa berat digoncang fitnah zaman.

Dalam surat al-Baqarah, dijumpai firman Allah yang menasehati kami untuk istiqamah dan secara menyeluruh tunduk terhadap segenap syariat yang dibawa nabi kami, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, tanpa harus memilah dan memilih mana yang sesuai dengan selera maupun tidak. Sungguh tak layak bagi kami untuk melaksanakan secuil bagian dari sebuah perintah namun menolah dan membuang nash lain yang kami anggap tak sesuai dengan nurani.

Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:

يا أيها الذين ءامنوا ادخلوا في السلم كافة ولا تتبعوا خطوات الشيطان إنه لكم عدو مبين

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS al-Baqarah: 208)

Ayat di atas, kami dapati sebagai ayat yang menjelaskan tuntutan keimanan yang bersarang dalam qalbu seorang muslim dan mesti menjadi salah satu perhatian kami untuk menaikkan level iman.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin menyebutkan bahwa ayat-ayat yang dimulai dengan panggilan terhadap orang beriman mengandung tiga konsekuensi:

  1. Allah hendak memberikan penegasan terhadap hukum yang terdapat pada redaksi kalimat setelah lafadz ‘Yaa ayyuhalladziy na-aamanuu’ (wahai orang-orang yang beriman)
  2. Hal yang disebutkan setelah lafadz ‘Yaa ayyuhalladziy na-amanu’ (wahai orang-orang yang beriman) baik berupa perintah ataupun larangan adalah konsekuensi dan tuntutan keimanan.
  3. Ketiadaan perhatian dan pengamalan terhadap tema yang dibicarakan dalam ayat tersebut akan mengurangi keimanan.

Rasanya, terhadap ayat ini dan ayat lain yang semisalnya, menjadikan kami mesti menyiapkan telinga, mata dan pikiran untuk fokus memahami tema pembicaraan sebagaimana apa yang diwasiatkan Ibnu Mas’ud:

إذا سمعت الله يقول يا أيها الذين ءامنوا فأرعها سمعك فإنه خير يؤمر به او شر ينهى عنه

Jika engkau dengar Allah mengatakan ‘Yaa ayyuhalladziy na-amanu’ (wahai orang-orang yang beriman) maka fokuskanlah pendengaranmu. Karena ada kebaikan yang diperintahkan atau keburukan yang dilarang.”

Para ulama, seperti yang disebutkan Ibnu Katsir dan lainnya, menyebutkan bahwa ayat dalam surat al-Baqarah di atas turun berhubungan dengan beberapa orang Yahudi dan lainnya yang masuk Islam. Mereka ini meminta ijin kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam untuk mengamalkan di malam hari sebagian apa yang terkandung dalam taurat dan membacanya dalam shalat. Syaitan membujuk mereka untuk tetap memuliakan hari sabtu dan mengharamkan bagi mereka daging onta. Maka Allah memerintahkan mereka tunduk sempurna dan mengamalkan seluruh syariat Allah tanpa harus menoleh syariat lain.

Ayat yang tercantum dalam surat al-Baqarah di atas memerintahkan kami untuk masuk dan tunduk terhadap syariat dan hukum syar’i secara total tanpa mesti memilah. Kami dilarang untuk menerima apa yang sesuai dengan keinginan kami saja dan pada saat yang sama menolak, menyepelekan serta meninggalkan apa yang kami anggap tidak sesuai.

Berdasarkan ayat ini pula, kami diwasiatkan untuk istiqamah dan konsisten dalam memperagakan amal-amal kebaikan yang banyak bertabur dalam nash syar’I dan berusaha menjauhkan diri dari segenap maksiat. Artinya, kami dituntut tidak hanya mengakui keimanan hanya di lisan namun beriman dengan quluub yang akan membuahkan amal shaleh.

Imam al-Qurthubiy mengutip sebuah statemen:

قيل أمر من آمن بأفواههم أن يدخلوا فيه بقلوبهم

Dikatakan pula, maknanya bahwa Allah memerintahkan orang yang beriman dengan lisannya untuk masuk Islam pula dengan jiwanya (mengamalkannya –ed).”

Allah ‘azza wajalla yang telah memuliakan kami dengan panggilan “hai orang-orang yang beriman” juga memerintahkan kami untuk menjauhi segala hal yang bertolak belakang dengan tuntunan dan tuntutan keimanan yaitu mengikuti jejak-jejak dan bisikan-bisikan lembut yang dihembuskan syaitan. Para ulama menyebutkan bahwa syaitan tidak akan memerintahkan kebaikan. Hanyalah kejahatan dan perbuatan keji yang ia serukan kepada anak adam. Ini adalah dendam abadi Iblis kepada keturunan Adam agar menjerumuskan mereka ke dalam neraka.

Mereka adalah musuh abadi yang selalu mengintai gerak-gerik manusia non stop tanpa letih dan lelah. Karena itulah Allah menegaskan sekaligus memerintahkan kami, kaum muslimin, untuk menjadikan mereka sebagai musuh.

إن الشيطان لكم عدو فاتخذوه عدوا

Syaitan sejatinya adalah musuh bagi kalian. Jadikanlah dia musuh.” (QS al-Fathir: 6)

Kembali ke ayat 208 surat al-Baqarah di atas, larangan untuk mengikuti langkah-langkah syaitan didahului dengan perintah untuk masuk dan tunduk di bawah syariat Islam secara total. Artinya, larangan yang disebutkan setelah adanya perintah menunjukkan bahwa larangan yang dimaksud bertentangan dengan esensi apa yang diperintahkan. Dengan kata lain, ketika kami mengikuti jejak-jejak dan bisikan syaitan dan melakukan sebuah maksiat maka ini akan mengurangi keimanan kami karena kesempurnaan iman dan kualitas “at-tamassuk” (berpegang teguh) terhadap syariat tak akan tergapai kecuali dengan menyelisihi dan menjauhi langkah dan jejak syaitann.

Kami dapati penjelasan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin bahwa “khuthuwat as-Syaithan” (langkah syaitan) adalah semua maksiat dan perkara-perkara yang diharamkan, meninggalkan kewajiban syar’i dan hal-hal yang disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai perbuatan yang menyerupai atau memang dilakukan syaitan misalnya makan dan minum dengan tangan kiri, mengambil dan memberi dengan tangan kiri atau menolehkan wajah ketika shalat.

***

Kebun Nanas, Jakarta Timur, 18 Dzulhijjah 1435 H/14 Okt. 2014 M

 

Referensi:

  1. Tafsir al-Quran al-‘Adzim Surat al-Baqarah, syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, terbitan Dar Ibnul Jauziy, Saudi Arabia, Jilid 1.
  2. Tafsir al-Quran al-‘Adzim Surat al-Baqarah, syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, terbitan Dar Ibnul Jauziy, Saudi Arabia, Jilid 3.
  3. Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, Imam al-Qurthubiy, terbitan Dar al-Hadits, Mesir, jilid 2.
  4. Tafsir Ibn Katsir, Jilid 1, Jam’iyyat Ihya at-Turats al-Islamiy, Kuwait.
  5. Taisir al-Karim ar-Rahman fiy Tafsir Kalam al-Mannan, syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’diy, terbitan Dar Ibnul Jauziy, Saudi Arabia.
  6. Aisar at-Tafasir, Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jazairiy, terbitan Dar al-Hadits, Mesir.

Penyusun: Fachriy Aboe Syazwiena

Artikel Muslim.Or.Id

🔍 Isi Kitab Riyadhus Shalihin, Rukun Shalat Sunnah, Kumpulan Hadist Shahih, Arti Surat Ayat Kursi


Artikel asli: https://muslim.or.id/22899-mengikuti-jalan-jalan-setan-melemahkan-iman.html